JAKARTA EARTHQUAKE?

GEMPA BUMI MEGA THRUST M 8.7: SIAPKAH JAKARTA?

(Tsunami dr Selat Sunda: YES!! Rambatan gempa dr Selat Sunda: LESS LIKELY, Rambatan dr Bayah-PelabuhanRatu: MORE LIKELY)

Oleh :

Andang Bachtiar

(geologist merdeka)

———-

Atas pemberitaan akhir2 ini ttg potensi Gempa Jakarta 8.7 SR yg dirilis bersamaan dengan penyelenggaraan acara BMKG “Gempa Bumi Mega Thrust M 8.7, Siapkah Jakarta” Rabu, 28 Februari 2018 yang lalu, saya ingin memberikan perspektif yg mudah2an bisa mengurangi kebingungan.

Issue tentang Gempa Bumi Mega Thrust M 8.7 mengancam DKI Jakarta ini bukan pertama kali diungkapkan skrg2 ini. Tapi pada Mei 2011 (7 tahun yg lalu) issue ini pertama kali dilontarkan oleh Andi Arif, stafsus SBY bersama dengan Dr Danny Hilman, peneliti gempa kenamaan dr LIPI setelah mereka selesai dengan pembuatan peta gempa terbaru Indonesia (lihat slide terlampir)

Beberapa hal teknis yang saya tulis pada 7 tahun yang lalu saya ulangi lagi disini untuk menjelaskan tentang issue tersebut sbb.

Dari segi tektonik, bkn hanya jarak dr epicenter yg menentukan besar kecilnya pengaruh gempa dirasakan di suatu tempat. Tetapi juga apakah ada jalur2 patahan yg menghubungkan daerah epicenter dg tempat tersebut..

Dalam hal potensi ancaman gempa yg epicenternya di terusan patahan geser Sumatra ataupun Mentawai di Selat Sunda maupun apalagi di zona penunjaman sebelah baratnya, kemungkinan besar daerah yg punya kelurusan struktur langsung dg patahan2 tsb di Banten yg mendapatkan pengaruh goncangan terbesar.

Hubungan Teluk Jakarta dg daerah Selat Sunda nampaknya lebih difasilitasi oleh terhubungnya kedua perairan tersebut oleh kolom air Laut Jawa diantara keduanya. Sampai skrg kita blm memperoleh bukti data adanya kelurusan patahan arah barat-timur yg menghubungkan keduanya. Dengan demikian memang ada potensi akan terjadi tsunami di Teluk Jakarta apabila ada gempa 8.7 SR di Selat Sunda dan atau zona penunjaman di sebelah baratnya. Perhitungan awal apabila terjadi gempa 8.5 SR di Selat Sunda, maka Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta akan terendam tsunami yang run-up-nya sampai dengan 1 meter (Data dari simulasi Dr Hamzah Latief – bahan sosialisasi bencana gempa-tsunami IAGI-HAGI 2005-2006)

Tetapi kecil kemungkinannya gempa 8.7SR tsb merambat & dirasakan dg kekuatan yg sama di Jkt, krn tiadanya jalur patahan barat-timur itu. Kalaupun toh dirasakan di JKT mugkin getarannya sdh jauh berkurang dr di pusatnya yg 8.7 SR itu. Tapi ya tetep saja goyang bergoncang. Berapa besaran MM nya? Kawan2 geoteknik perlu menghitungnya terutama dikaitkan dg usaha micro zonasi kegempaan u/kode bangunan di Jakarta.

Saya malahan melihat kemugkinan Jakarta lebih rawan “serangan” gempa dr arah selatan, yaitu dr Pelabuhan Ratu – Sukabumi dan sekitarnya. Karena sampai saat ini data gravity dan seismik menunjukkan tinggian-rendahan utama yg dibatasi patahan2 di daerah Jakarta arahnya utara selatan. Salah satu dr patahan itu membatasi Tinggian Tanggerang di bagian barat dr Cekungan Ciputat yg melampar ke timur sampai ke Tinggian Rengasdengklok. Patahan berarah utara selatan itu trase-permukaan-nya di sekitar jalur S. Cisadane. Jalur patahan di bawah permukaan bisa diamati sampai ke daerah Leuwiliang Bogor, tetapi kemudian jejaknya tertutup oleh endapan volkanik Gn Salak. Kemungkinan jalur utara selatan lwt patahan itu bisa menerus di bawah Gn Salak sampai akhirnya terhubung dg daerah Sukabumi – Pelabuhan Ratu. Jika terjadi pergeseran intra plate di penunjaman lempeng selatan Pelabuhan Ratu dan getaran gempanya bisa diteruskan ke utara lwt jalur tersebut, maka Jakarta bisa2 ikut bergoyang. Lebih banyak bukti menunjukkan bhw gempa2 di selatan Jawa Barat seringkali juga terasa meggoyangkan Jakarta (Gempa Pangandaran 2006, Gempa Tasikmalaya 2009, Gempa Sukabumi).

Tentang kemungkinan Jakarta diancam tsunami dari gempa Selat Sunda maupun volcanic activity Krakatau: catatan2 sejarah membuktikannya. Penelitian Tim Katastrofi Purba 2010-2011 di daerah BatuJaya, Krawang (Teluk Jakarta timur) ttg penyebab terkuburnya kebudayaan pra-sejarah disana (dr situs2 arkeologinya) menunjukkan tanda2 bekas adanya bencana purba. Bencana purba pd lapisan2 pengubur situs Batu Jaya antara abad 4-5 kemungkinan adalah Tsunami atau letusan gnApi dr Selat Sunda.

Jadi, memang kita semua harus terus bersiap. Jakarta juga tdk aman2 banget dr potensi ancaman gempa dan apalagi tsunami. Tapi bukan gempa langsung M 8.7 di bawah Jakarta. Gempa 8.7 nya bisa berasal dari Mega Thrust di barat Selat Sunda, bisa juga dari Mega Thrust di Selatan Jawa. Jakarta sendiri tidak punya potensi untuk jadi epicentrum gempa 8.7 M tersebut. Kena imbas rambatan dan kena imbas tsunami-nya IYA. Langsung digoyang oleh M 8.7: kecil kemungkinannya.

Penghembusan kembali issue Mega Thrust M 8.7 mengancam Jakarta bagus sekali untuk mengingatkan kita semua agar terus menerus meningkatkan mitigasi – pengurangan resiko bencana : bagi ibukota negara ini. Penghembusan issue ini bukan pertama kalinya. Coba browsing berita-berita Mei 2011 –alias 7 tahun yg lalu. Andi Arif stafsus SBY dan juga Danny Hilman dkk juga waktu itu pertama kali mengingatkan masyarakat tentang potensi adanya pengaruh mega thrust M 8.7 ini untuk DKI Jakarta.

Ayo lebih kita kenceng-in mitigasi dan penelitian2nya. Tanpa riset2: gps, tomografi, monitoring patahan aktif,catatan2 sejarah, dating endapan tsunami, koral dsb, kita meraba dlm gelap. Dengan riset2 mitigasi,kita jd lebih siap, tahu segmen lempeng mana yg siap bergerak & brapa besar besar skalanya, daerah mana yg kena, dsb. Makin bnyak catatan sejarah/ stratigrafi dr pemelajaran perulangan gempa-tsunami di suatu tempat, makin sempit simpangan ketdkpastian prediksi.

Kita sdh sampai pd level prediksi lokasi & besaran gempa termasuk u/Siberut, Padang, Selat Sunda, Jawa Selatan, dll; tapi prediksi kapan waktunya masih banyak tanda tanya. Masih terlalu sedikit data untuk diambil regresi linier statistiknya mendapatkan kepastian dengan simpangan rendah.

Mitigasi bukan untuk menakut-nakuti, tetapi membuat orang menjadi lebih siap mengantisipasi, mengevaluasi mana yg kurang & hrs diperbaiki.

Salam

ADB di PRS

3 Maret 2018

Ghozwul Fikri sedang dimainkan..

img_0903Gambar ilustrasi Ghowzul Fikri.

Akhir-akhir ini terasa sekali terjadi pembalikan situasi atau fakta maupun keadaan atau yang lebih dikenal sebagai HOAX.  Ini semua terjadi bukan kebetulan atau main-main, tetapi lebih merupakan sebuah perang pemikiran atau kalangan muslim memberi istilah sebagai Ghowzul Fikri.

PENGERTIAN GHAZWUL FIKRI

Secara bahasa Ghazwul berasal dari kata Ghozwah yang berarti peperangan dan Fikri berasal dari kata Fikr yang berarti pemikiran, secara istilah bisa diartikan sebagai penyerangan dengan berbagai cara terhadap pemikiran umat Islam guna merubah apa yang ada di dalamnya sehingga tidak lagi bisa mengeluarkan darinya hal-hal yang benar karena telah bercampur aduk dengan hal-hal yang tidak islami. Dalam arti luas Ghazwul Fikri adalah cara atau bentuk penyerangan yang senjatanya berupa pikiran, tulisan, ide-ide, teori, argumentasi, dan propaganda.

Namun demikian ghazwul fikri tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari metode perang yang bertujuan untuk memurtadkan kaum muslimin dari agamanya, jika tidak tercapai, setidaknya mendangkalkan keagamaan seseorang atau masyarakat. Ia bukan merupakan tahapan peperangan, akan tetapi sebagai pelengkap dan penyempurna cara penyerbuan orang-orang kafir terhadap Islam dan umatnya.

SASARAN GHAZWUL FIKRI

Yang menjadi sasaran tentu saja adalah pola pikir, akhlak (perilaku), dan aqidah dari kaum muslimin. Apabila seseorang sering menerima paham sekuler, maka ia pun akan berpikir ala sekuler. Bila seseorang dicekoki dengan pola pikir komunis, materialis, liberalis, kapitalis atau yang lainya, maka merekapun akan cenderung berpikir dengan salah satu paham tersebut. Perang pemikiran dilahirkan dalam bentuk media-media baik cetak maupun elektronik. Dari sana pula timbul persaingan untuk saling memperkenalkan sesuatunya dan semakin banyak iklan maka semua orang akan melihat dan menjadikannya sebagai gaya hidup atau properti dalam menentukan jalan hidupnya.

METODE YANG DIGUNAKAN

Menurut para pakar yang mengkaji tentang ghazwul fikri, ada beberapa cara atau taktik yang sering dilakukan oleh para penyerbu (orang kafir), antara lain :

1. Tasykik, yaitu menimbulkan keragu-raguan dan pendangkalan dalam jiwa kaum muslimin terhadap agamanya. Yang menjadi sasaran utama dalam metode ini adalah validitas sumber-sumber hukum Islam, yaitu Al-quran dan Hadis. Berbagai teori bohong diungkapkan oleh para orientalis untuk menimbulkan keragu-raguan akan kebenaran wahyu Allah. Mereka menuduh bahwa isi Al-quran sudah tidak rasional agar kaum muslimin tidak lagi mengkajinya.
2. Tasywih, yaitu pengaburan. Adalah upaya orang kafir untuk menghilangkan kebanggaan kaum muslimin terhadap islam dengan cara menggambarkan islam secara buruk. Seringkali mereka menyematkan gelar seperti teroris, fundamentalis, ekstrimis, islam garis keras, dan lain-lain. Tentunya julukan tersebut tidak hanya sebagai hinaan semata bagi kaum muslimin, melainkan juga salah satu bentuk Tasywih agar kaum muslimin mulai tidak bangga terhadap agamanya sendiri.
3. Tadzwiib, yaitu pelarutan, pencampuradukan antara pemikiran dan budaya Islam dengan pemikiran dan budaya jahiliyah. Tujuannya jelas yaitu agar tidak lagi ada jarak pemikiran dan budaya Islam dengan pemikiran dan budaya kufur, sehingga orang islam tidak tahu lagi mana pemikiran dan budaya Islam dan mana yang bukan.
4. Taghrib, atau pembaratan (westernisasi), yaitu mendorong kaum muslimin untuk menyenangi dan menerima pemikiran, kebudayaan dan gaya hidup orang-orang barat. Taghrib berusaha keras untuk mengeringkan nilai-nilai Islam dari jiwa kaum muslimin dan mengisinya dengan nilai-nilai barat yang menyimpang.

SARANA GHAZWUL FIKRI

1. Pers dan media informasi, dalam dunia modern, pers menempati posisi yang sangat penting, antara lain adalah dapat membentuk opini umat. Bahkan sering dikatakan bahwa barangsiapa yang menguasai pers, berarti dapat juga menguasai dunia. Kalau yang menguasai pers itu adalah orang mukmin, yang benar-benar paham dengan dakwah dan memang merupakan Da’i, maka pers yang diterbitkanya tentu tidak akan menurunkan tulisan-tulisan yang merugikan Islam, memojokkan kaum muslimin atau menyakiti umat Nabi Muhammad SAW. Tetapi kenyataan yang membuktikan, di dunia ini tak sedikit pers yang menurunkan aneka bentuk tulisan yang substansi isinya bukan hanya memojokkan Islam, menyakiti hati kaum mukmin, menghina Nabi serta melecehkan Al-quran, tetapi lebih dari sekedar itu. Musuh-musuh Islam telah menggunakan media sebagai corong yang efektif untuk merontokkan keislaman kita. Dan keadaan bisa bertambah buruk lagi, kalau para pemimpin umat Islam bukanya memihak Islam, tapi justru memihak dan membela musuh-musuh Allah SWT. Na’udzu biillah min dzaalik!
2. Pendidikan, melalui beasiswa pelajar di negeri barat, perlahan mereka menyimpangkan pandangan kita terhadap Islam. Hingga saat ini sudah banyak mahasiswa yang diberi beasiswa kuliah di luar negeri dan ketika kembali sudah menjadi calon tokoh-tokoh kaum liberal.
3. Hiburan & Olahraga, baik hiburan tradisional maupun modern, hingga reality show sudah mereka manfaatkan. Tidak hanya mendirikan cafe, bioskop, club, lokalisasi, namun juga memanfaatkan radio, televisi, Hp, internet, dan sebagainya. Selain itu mereka juga menyebutkan prestasi olahraga sebagai bentuk kepahlawanan yang pantas dibanggakan, padahal dibalik itu semua banyak perbuatan keji yang ditularkan kepada umat Islam. Seperti judi, menuman keras, menampakkan aurat dan masih banyak lagi.
4. Yayasan & LSM, dibungkus dalam kemasan islami seperti bantuan sosial, padahal dibalik itu mereka menawarkan pertukaran harta dengan agama mereka hingga akhirnya masyarakat-masyarakat lemah harta (mustad’afin) menjadi korban pemurtadan.

DAMPAK DARI GHAZWUL FIKRI
1. Perusakan Akhlak, diberbagai media massa, musuh-musuh Islam melancarkan program-program yang bertujuan merusak akhlak generasi muslim mulai dari anak-anak, remaja, maupun dewasa. Diantara perusakan itu adalah lewat majalah, televisi, serta musik. Dalam media-media tersebut selalu saja disuguhkan penampilan tokoh-tokoh terkenal yang pola hidupnya jelas-jelas jauh dari Islam. Mulai dari cara berpakaian, gaya hidup dan ucapan-ucapan yang mereka lontarkan. Dengan cara itu mereka telah berhasil membuat idola-idola baru yang membuat generasi islam berkiblat kepada mereka.
2. Melarutkan kepribadian Islam, Akibat dari itu semua lahirlah generasi muslim yang tidak berkepribadian. Mereka menjadi tidak percaya diri untuk menampakkan identitas keislamanya. Nama-nama, model pakaian, bahasa, gaya hidup, pola pikir, semuanya mereka ganti dengan kebudayaan impor dari barat. Bahkan sebagian mereka mengatakan apabila kita ingin maju maka kita harus menjiplak barat seutuhnya. Firman Allah SWT.: “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka)…” (QS. An-Nisa [4] : 89)
3. Pemurtadan, ini adalah program utama dan yang paling jelas dari ghazwul fikri. Setelah hilang semangat keislamanya dan dilanjutkan tumbuhnya kekaguman akan peradaban barat yang semu, maka tahapan selanjutnya adalah menggiring hati kaum muslimin. “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian hingga kalian murtad dari agama kalian jika mereka mampu.” (QS. Al-Baqarah : 217). 

UPAYA MENANGKAL GHAZWUL FIKRI. Kenali musuh dan tingkatkan kemampuan diri. Kritis dalam menyaring informasi dari media. Taktik bertahan dan menyerang.
Jika sudah tahu semua tentang ghazwul fikri, cara kerja, sasaran, dan dampaknya maka mulai dari sekarang kita tingkatkan pemahaman keislaman kita secara kaffah. Jangan pernah ragu-ragu untuk menampakkan identitas keislaman kita. Dan jangan lupa selalu membaca dan mengkaji Al-Quran, sunnah dan hadis karena itulah kekuatan utama umat muslim.

MEI 6/2/2017

Presidential Threshold = KESALAHAN BERPIKIR!

PRESIDENTIAL THRESHOLD = KESALAHAN BERPIKIR.

Oleh: Muhammad E. Irmansyah

Ketika hari Selasa siang (17/1/2017) yang lalu saya datang ke gedung DPR untuk suatu keperluan, ditengah gang di gedung Nusantara II saya melihat seorang wakil rakyat sedang diinterview oleh beberapa wartawan, sayapun melambatkan langkah mendekati kerumunan itu. Ternyata anggota DPR itu sedang menjawab pertanyaan wartawan tentang Presidential Threshold yang sedang hangat dibicarakan saat ini di parlemen dalam menyusun RUU Pemilu. Entah dari fraksi mana anggota DPR tersebut tapi yang jelas dia mengatakan bahwa tidak perlu ada Presidential Threshold atau pembatasan pencalonan calon Presiden dari sebuah partai yang sudah lolos verifikasi KPU.

Gambar 1: Suasana sidang paripurna DPR.

Saya pikir anggota DPR tersebut diatas menyatakan pendapat yang benar dan logis masuk akal serta tidak melanggar konstitusi, mengikuti konstitusi yang ada. Biasa-biasa saja sebenarnya. Tidak ada yang istimewa dari pendapatnya tersebut. Justru menjadi aneh bin ajaib ketika ada pendapat dari beberapa anggota DPR yang berasal dari beberapa partai besar yang menginginkan adanya threshold (ambang batas) dari suatu partai untuk bisa mencalonkan seseorang untuk menjadi Presiden di republik ini. Ambang batas pada Pilpres (presidential threshold) terdahulu adalah 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari jumlah perolehan suara nasional yang sah.

RUU PEMILU, PILEG, PILPRES.

Pembahasan tentang RUU PEMILU yang sedang dibahas ini sebenarnya tidak perlu menjalani perdebatan panjang apabila para wakil rakyat tersebut konsekwen dan punya semangat untuk memperjuangkan keadilan serta tetap berada dalam koridor hukum dan konstitusi. Ada satu lagi …., dan ini yang terpenting, yaitu ingin memperoleh seorang pemimpin negara, ingin mendapatkan seorang kepala negara yang bermartabat dan memang benar-benar disukai, diinginkan……, dan yang dibutuhkan oleh rakyat. Rakyat tidak butuh pemimpin partai tapi butuh pemimpin negara yang berkualitas dari segala sisi.

Gambar 2: Ilustrasi Presidential Threshold bertentangan dengan demokrasi yang kita anut saat ini.

Gambar 3: Obrolan rakyat tentang Presidential Tracés hold.

Mengenai pemilu, pileg dan pilpres, ada dua pasal dalam UUD 1945 (hasil amandemen) yang menjadi dasar pelaksanaannya. Yaitu Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E. Pasal 6A ayat (2): “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.

Pasal 22E ayat (2): “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD”. Karena Pasal 22E ayat (2) tidak menyebut waktu penyelenggaraan, maka penyelenggaraan pileg dan pilpres dapat dilakukan secara bersamaan (berbarengan) atau terpisah waktunya. Pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, pileg dan pilpres dilakukan terpisah antara lain dengan alasan pileg didahulukan guna pengisian MPR yang akan melantik Presiden/Wakil Presiden terpilih, serta ditetapkannya president threshold dalam pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Sedang Pasal 6A ayat (2) pada potongan redaksi “…… sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, menimbulkan tanda tanya, apakah yang dimaksud adalah pemilihan umum Pileg atau Pilpres?

Di dalam penyelenggaraan Pileg dan Pilpres terpisah (2004, 2009 dan 2014), maka redaksi itu diterima sebagai pemilu Pilpres.

Namun dengan adanya putusan MK mengenai penyelenggaraan Pileg dan Pilpres serentak, praktis potongan redaksi tersebut di atas diterima sebagai pemilu Pileg dan Pilpres.

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. Putusan itu berlaku pada Pilpres 2019.

“Mengabulkan permohonan pemohon,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva saat membacakan putusan di Gedung MK tahun 2014.

Pasal yang diajukan, yakni Pasal (3) Ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112. Dengan dikabulkannya gugatan ini, penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019 dan seterusnya akan digelar serentak sehingga tak ada presidential threshold untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Pileg dan Pilpres 2014 tetap dilaksanakan terpisah.

Para anggota DPR dan atau fraksi-fraksi yang masih menginginkan adanya Presidential Threshold itu menunjukkan bahwa mereka tidak mengerti konstitusi dan hukum atau setidaknya tidak mau tahu atau pura-pura tidak tahu dan dapat dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran hukum dan konstitusi secara sadar atau tidak sadar sekaligus menunjukkan kualitas berpikir mereka. Tegas sekali bahwa mereka melakukan Thinking Fallacy (kesalahan berpikir).

KESALAHAN BERPIKIR (Thinking Fallacy)

Berpikir merupakan aktifitas otak, maka berpikir akan menentukan apa tindakan seseorang selanjutnya. Apa akibatnya jika seseorang melakukan kesalahan berpikir? Tentu fatal!

Setidaknya ada tiga jenis kesalahan berpikir (Thinking Fallacy) yang dilakukan oleh para anggota DPR yang menginginkan adanya Presidential Threshold ini.

Yang pertama adalah Fallacy of Retrospective Determinism. Istilah yang panjang ini sebetulnya hanya untuk menjelaskan kebiasaan orang yang menganggap masalah yang sekarang terjadi sebagai sesuatu yang secara historis memang selalu ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang. Determinism selalu saja lebih memperhitungkan masa silam ketimbang masa mendatang.

Misalnya, ada sesuatu masalah sosial yang bernama pelacuran alias prostitusi. Sebagian orang mengatakan: “Mengapa pelacuran itu harus dilarang? Sepanjang sejarah pelacuran itu ada dan tidak bisa dibasmi. Oleh karena itu, yang harus kita lakukan bukan menghilangkan pelacuran, melainkan melokalisasikannya agar terhindar dari dampak-dampak yang tidak diinginkan. Karena, sekali lagi, pelacuran itu sudah ada sepanjang sejarah.”. Dengan demikian, cara berpikir ini selalu mengambil acuan “kembali ke belakang” atau “sistem”. Karena itu, kesalahan berfikir ini disebut restrospective (melihat kebelakang). Determinisme restrospektif adalah upaya kembali pada sesuatu yang seakan-akan sudah ditentukan (determined) di dalam sejarah yang telah lalu.

Contoh lainnya adalah perkara kemiskinan. Orang yang berpendirian seperti di atas, akan mengatakan bahwa kemiskinan sudah ada sepanjang sejarah. Dari dulu ada orang kaya dan miskin. Mengapa orang sekarang mesti ribut-ribut memberantas kemiskinan? Padahal, kemiskinan tidak bisa diberantas, sudah ada sejak jaman dahulu, ini juga termasuk kesalahan berpikir.

Dalam kasus kita saat ini sama saja, katakanlah pada perolehan suara pemilu yang lalu-lalu ada partai yang berasal dari golongan atau kelompok tertentu atau bahkan partai baru yang memperoleh suara kecil, maka berarti setiap partai dari golongan tertentu itu atau sebuah partai baru pasti tidak mungkin mendapatkan perolehan suara yang besar maka dari itu cukup melihat dari hasil perolehan suara pemilu yang lalu saja.

Kesalahan berpikir kedua adalah Fallacy of Dramatic Instance. Fallacy of dramatic instance berawal dari kecendrungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan overgeneralisation. Yaitu, penggunaan satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum. Kerancuan berpikir semacam ini banyak terjadi dalam berbagai telaah sosial. Argument yang overgeneralized ini biasanya agak sulit dipatahkan. Karena, satu-dua kasus rujukan itu seringkali diambil dari pengalaman pribadi seseorang (individual’s personal experience). Contoh supaya lebih memudahkan kita memahami Fallacy of dramatic instance ini:

Herman adalah siswa SMA 1; Jos adalah siswa SMA 1; Herman berperangai jelek; Jadi, Jos juga berperangai jelek. (karena keduanya siswa SMA 1.)

Dalam kasus kita, dari pengalaman terdahulu partai baru sulit dapat kursi di DPR oleh karena itu disimpulkan bahwa partai baru yang akan ikut pemilu besok juga akan mengalami hal yang sama. Kadang-kadang, overgeneralisasi terjadi dalam pemikiran kita saat memandang seseorang, sesuatu, atau tempat. Padahal, orang/situasi/organisasi itu selalu berubah, sehingga hal yang sama tidak bisa kita terapkan pada sesuatu yang sama terus menerus dan selamanya.

Kesalahan berpikir yang ketiga adalah Circular Reasoning, artinya pemikiran yang berputar-putar; menggunakan konklusi (kesimpulan) untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju konklusi semula. “DPR 2014-2019 itu belum demisioner. Oleh karenanya, pada hasil pelaksanaan pilpres itu komposisi 2014 masih relevan digunakan pada Pilpres 2019,”

Putusan Mahkamah Konstitusi terkait penyelenggaraan pemilu serentak 2019 juga mengacu ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold yang digunakan pada Pemilu 2014. Merujuk putusan tersebut, aturan ambang batas presiden dianggap masih relevan jika menggunakan ketentuan pada Pemilu 2014. Membingungkan! Dan ini adalah kesalahan berpikir yang sangat fatal.

Penutup

“Kewarasan dan trampil berpikir menjadi suatu hal yang mutlak dalam memutuskan sesuatu, apalagi dalam situasi bangsa dan negara seperti sekarang ini yang membutuhkan terobosan dan pola pikir baru maka dibutuhkan pemimpin alternatif baru.”

“Pemilu serentak itu tak butuh presidential threshold karena pemilu legislatifnya berbarengan, jadi biarkan saja semua partai diberi kesempatan mencalonkan presiden, toh tak semua partai juga akan mencalonkan presiden nantinya.”

*Penulis adalah Direktur Eksekutif ISDT (Institute for Studies and Development of Thought; established in 1998); Sebuah lembaga kajian yang didirikan oleh Prof. Dr. Nurcholis Madjid, H. Rahardjo Tjakraningrat, HME Irmansyah, Jos Jusuf, KHM Nabhan Husain, H Ali Karim Oey, Ir Suhari Sargo, dll.